Selasa, 11 Desember 2018

PSIKOLINGUISTIK


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Pada hakikatnya bahasa merupakan alat komunikasi atau interaksi manusia yang memiliki beberapa karakteristik yaitu sistematik, arbitrer, bunyi ujar, manusiawi, dan komunikatif. Sesuai yang dikemukakan Kridalaksana, (1993:21) yang menyatakan bahwa, bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri.
Setiap manusia sesungguhnya memiliki potensi menguasai bahasa yang sama. Dalam proses dan sifat penguasaan bahasa seseorang berlangsung secara dinamis dan melalui tahapan-tahapan yang berjenjang. Seperti pada bayi yang baru lahir cara ia melakukan komunikasi tentunya dengan tangisan. Segala bentuk yang ingin ia sampaikan dan apa yang ia butuhkan tentunya melalui tangisan.
Menurut Christana, (2012: 203) perkembangan bahasa meliputi perkembangan fonologis meliputi penguasaan lambang bunyi, perkembangan morfologi berkaitan pembentukan kata-kata, perkembangan sintaksis berkaitan dengan penguasaan tata bahasa, perkembangan leksikal berkaitan dengan perluasan kata serta arti kata-kata, perkembangan semantik berkaitan dengan dengan penguasaan arti bahasa.
Pemerolehan ujaran anak merupakan salah satu tahap paling penting dalam perkembangan bahasa anak. Bahasa anak berkembang dan dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Sebagaimana diungkapkan Dardjowidjojo (2012: 199) bahwa faktor lingkungan memang penting, tetapi faktor itu hanya memicu apa yang sudah ada pada bilogi manusia. Anak bukan hanya melakukan peniruan, tetapi juga mengembangkan bahasanya sendiri. Hal ini senada dengan pendapat Mar’at (2011:72) yang mengatakan bahwa semakin banyak rangsang bahasa yang diterima dari lingkungan maka semakin banyak pula asosiasi yang terjadi dan disimpan dalam ingatannya.
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas penulis merumuskan masalah sebagai berikut.
1.   Bagaimana perkembangan bahasa pada anak usia 4-5 tahun jika ditinjau dari segi fonologi?
2.   Bagaimana perkembangan bahasa pada anak usia 4-5 tahun jika ditinjau dari segi semantik?
3.   Bagaimana perkembangan bahasa pada anak usia 4-5 tahun jika ditinjau dari segi sintaksis?
4.   Bagaimana perkembangan bahasa pada anak usia 4-5 tahun jika ditinjau dari segi pragmatik?
5.   Apakah terdapat faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa pada anak usia 4-5 tahun?

C.      Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut.
1.   Untuk mengetaui perkembangan bahasa pada anak usia 4-5 tahun jika ditinjau dari segi fonologi.
2.   Untuk mengetaui perkembangan bahasa pada anak usia 4-5 tahun jika ditinjau dari segi semantik.
3.   Untuk mengetaui perkembangan bahasa pada anak usia 4-5 tahun jika ditinjau dari segi sintaksis.
4.   Untuk mengetaui perkembangan bahasa pada anak usia 4-5 tahun jika ditinjau dari segi pragmatik.
5.   Untuk mengetaui faktor yang mempengaruhi perkembangan bahasa pada anak usia 4-5 tahun.

D.  Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskrptif kualitatif. Penelitian ini bertujuan  untuk  mendeskripsikan  keadaan  atau  fenomena pada anak  usia 4-5 tahun yang berkaitan dengan pemerolehan fonologi, semantik, sintaksis, dan pragmatik. Data dan sumber data penelitian ini adalah ujaran anak usia 4-5 tahun yang di dalamnya  terdapat pemerolehan  fonologi, semantik, sintaksis, dan pragmatik.




BAB II
KAJIAN TEORETIS

A.      Pengertian Perkembangan Bahasa
Perkembangan bahasa merupakan proses yang dilalui untuk memperoleh bahasa dalam memahami kata yang didengar sampai dapat menggunakan kata tersebut. Pada dasarnya bahwa seseorang akan memahami bahasa dimulai dengan mendengarkan di sekitar. Pada tahap mendengarkanlah merupakan proses yang sangat penting.
B.       Tahap Perkembangan Bahasa Pada Anak
Manusia berkomunikasi melalui bahasa memerlukan proses yang berkembang dalam tahap-tahap usianya. Bahasa yang digunakan anak dalam berkomunikasi dan beradaptasi dengan lingkungannya yang dilakukan untuk bertukar gagasan, pikiran dan emosi. Bahasa bisa diekspresikan melalui lisan, tulisan, tanda dan musik. Bahasa juga menycakup aspek komunikasi nonverbal seperti gestikulasi, gestur atau pantomim. Berikut tahapan-tahapan perkembangan berbahasa pada anak.
1. Perkembangan Fonologi
     Pemerolehan fonem (secara reseptif) dimulai sejak anak mampu membedakan binyi-bunyi bahasanya sendiri, yakni pada usia 6 bulan. Adapun kemampuan membedakan bunyi berbagai bahasa telah dimulai lebih awal, yakni pada usia 2-6 bulan (Musfiroh, 2017:70).
     Menurut Mar’at (2005:46-47) Pada tahap-tahap permulaan perolehan bahasa, biasanya anak-anak memproduksi perkataan orang dewasa yang disederhanakan dengan cara sebagai berikut:
1. Menghilangkan konsonan akhir
2. Mengurangi kelompok konsonan menjadi segmen tunggal
3. Menghilangkan silabe yang tidak diberi tekanan (weak syllable delection)
4. Duplikasi silaba yang sederhana (reduplikasi)
2. Perkembangan Semantik
Arti semantik sebuah kata dapat dianalisis berdasarkan fitur atau faktor lingkungan tempat anak tersebut berbicara (Musfiroh, 2017:75). Menurut Steinberg dan Sciarini via Musfiroh (2017:75) anak melibatkan hubungan semantik dalam kalimat untuk melahirkan kata-kata yang bermakna gramatikal. Hubungan semantik tersebut bisa berupa agen yang bertindak, mengalami, ataupun menderita.
Perkembangan semantik menurut Mar’at (2005:48-49) sebagai berikut:
a.      Over extension
Misalnya: bow-bow à semua binatang
b.      Under extension
Perkataan si anak hanya menunjuk pada bagian dari butir-butir (item-item) yang ada dalam kategorinya orang dewasa.
Mobil à hanya mobil yang lewat di depan rumah.
c.       Meaning with no overlap
Kata-kata yang dipakai tidak memberikan dasar untuk komunikasi sehingga akhirnya ditinggalkan oleh anak-anak.
3. Perkembangan Sintaksis
1. Kalimat Holofrastik
Holofrastik berasal dari kata “holo” yang berarti keseluruhan, dan “phras” yang berarti frase atau kalimat. Ucapan-ucapan satu kata pada periode ini disebut holofrastik karena anak-anak menyatakan makna keseluruhan frase atau kalimat dalam satu kata yang diucapkannya itu. Tahap holofrastik dialami oleh anak normal pada usia sekitar 1-2 tahun (Musfiroh, 2017:76)
2. Kalimat Telegrafik
Ujaran anak tidak berkembang secara cepat ke tahap dua atau tiga kata. Pada kebanyakan kasus, tahap ini muncul pada sekitar usia dua tahun (Musfiroh, 2017:76).
3. Kalimat Tunggal dan Kalimat Majemuk
Anak usia 4-5 tahun telah mampu membuat kalimat dengan 5 kata, serta mampu membuat dan menjawab pertanyaan. Pada tahap ini anak sudah mulai menerapkan struktur tata bahasa dan kalimat-kalimat yang agak lebih rumit (Musfiroh, 2017:77).
4. Perkembangan Pragmatik
a.       Pragmatik dalam Periode Sensori-Motorik (0-2 tahun)
Pada periode ini anak melakukan komunikasinya melalui tangisan, jeritan, maupun suara lain yang belum bisa dianggap sebagai ‘kata’ (Musfiroh, 2017:87).
b.      Pragmatik dalam Periode Pra-operasional (1,5-7 tahun)
Pada periode ini anak sangat agresif untuk mendapatkan kata-kata baru, dan menggunakannya dalam percakapan. Wells (via Musfiroh, 2017:90) mengidentifikasi 6 kategori pragmatik yang dapat diseajarkan dengan fungsi bahasa, yakni kontrol, representatif, ekspresif, sosial, tutorial, dan prosedural.
c.       Pragmatik dalam Periode Operasional Konkret (6,5-11 tahun)
Periode ini ditandai dengan munculnya kesantunan berbahasa (Musfiroh, 2017:92).
d.      Pragmatik dalam Periode Operasional Formal (11 tahun-dewasa)
Periode ini ditandai dengan percakapan yang semakin memenuhi prinsip kerjasama dan prinsip kesantunan (Musfiroh, 2017:94)
Menurut M. Schaerlaekens (via Mar’at, 2005:61) perkembangan bahasa anak dibagi dalam empat periode.
1.        Tahap Artikulasi atau Periode Prelingual (0 - 1 tahun)
Menurut Chaer (2009: 230) tahap ini dilalui bayi antara sejak lahir sampai kira-kira berusia 14 bulan. Menjelang usia satu tahun, bayi dimanapun sudah mampu menghasilkan bunyi-bunyi vocal “aaa”, “eee”, atau “uuu” dengan maksud untuk menyatakan perasaan tertentu. Perkembangan artikulasi dilalui seorang bayi melalui rangkaian tahap bunyi resonansi, bunyi berdekut, bunyi berleter, berleter ulang, bunyi vokabel.
Disebut periode prelingual karena anak belum dapat mengucapkan ‘bahasa ucapan’ seperti yang diucapkan orang dewasa, dalam arti belum mengikuti aturan-aturan bahasa yang berlaku (Mar’at, 2005:61)
2.        Periode Lingual Dini (1 - 2,5 tahun)
a.         Periode kalimat satu kata (holophrare)
Kalimat satu kata yang lazim disebut holofrasis oleh banyak pakar dapat dianggap bukan sebagai kalimat, karena maknanya sukar diprediksikan. Kalimat bagi mereka dalam pemerolehan sintaksis baru dimulai kalau anak itu sudah dapat menggabungkan dua buah kata (lebih kurang ketika beruia dua tahun) (Chaer, 2009: 235). Ucapan ‘ibu’ dapat berarti ‘Ibu kesini!’atau ‘Ibu kemana?’dan bisa juga‘Ibu tolong saya!’
b.         Periode Kalimat Dua Kata
Kalimat dua kata adalah kalimat yang hanya terdiri dari dua buah kata, sebagai kelanjutan dari kalimat satu kata. Kemampuan untuk menggabungkan dua kata ini dalam bentuk sebuah kalimat dikuasai anak menjelang usia 18 bulan. Dalam menggabungkan kata, anak mengikuti urutan kata yang terdapat pada bahasa orang dewasa (Chaer, 2009: 235). Contoh: ‘Ini Budi’, ‘Mama susu’.
c.         Kalimat lebih dari dua kata (more word sentence)
Keterampilan anak membentuk lebih dari dua kata terlihat dari panjangnya kalimat, kalimat tiga kata, kalimat empat kata, dan seterusnya (Mar’at, 2011: 62). Menjelang usia dua tahun anak rata-rata sudah dapat menyusun kalimat empat kata yakni dengan cara perluasan, meskipun kalimat dua kata masih mendominasi korpus bicaranya (Chaer, 2009: 236). Pada periode ini penggunaan bahasa tidak bersifat egosentris lagi, melainkan anak sudah mempergunakan untuk komunikasi dengan orang lain, sehingga mulailah terjadi suatu konversasi yang sesungguhnya antara anak dengan orang dewasa (Mar’at, 2005: 66).
3.        Periode Diferensiasi (usia 2,5 – 5 tahun)
Pada tahap ini pembendaharaan kata berkembang, baik kuantitatif maupun kualitatif. Selain itu, anak mulai menguasai kata benda, kata kerja, serta menggunakan kata depan, kata ganti. Anak sudah dapat mengadakan konversasi dengan cara yang dapat dimengerti oleh orang dewasa. Persepsi anak dan pengalamannya tentang dunia luar mulai ingin dibaginya dengan orang lain (Mar’at, 2011: 66).
4.        Tahap Menjelang Sekolah (sesudah usia 5 tahun)
Menurut Chaer, (2009: 237) yang dimaksud tahap menjelang sekolah adalah menjelang anak masuk sekolah dasar: yaitu pada waktu mereka berusia antara 5-6 tahun. Pendidikan di taman kanak-kanak (TK), apalagi kelompok bermain (playgroup) belum dapat dianggap sebagai sekolah, sebab sifatnya hanya menolong anak untuk siap memasuki pendidikan dasar
Ketika memasuki taman kanak-kanak (TK) anak sudah menguasai hampir semua kaidah dasar gramatikal bahasanya. Dia sudah dapat membuat kalimat berita, kalimat tanya, dan sejumlah konstruksi lain. Hanya masih mendapat kesulitan dalam membuat kalimat pasif (Chaer, 2009: 238).

C.      Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Bahasa pada Anak
Berikut ini ada empat faktor yang mempengaruhi perkembagan bahasa pada anak.
1.        Faktor Biologis
Setiap anak yang lahir telah dikaruniai kemampuan kodrati atau alami yang memungkinkannya untuk menguasai bahasa. Potensi alami itu bekerja secara otomatis. Menurut Chomsky (1975 dalam Santrock, 1994) menyatakan bahwa potensi yang terkandung dalam perangkat biologis anak dengan istilah piranti pemerolehan bahasa. Dengan piranti itu, anak dapat menercap sistem suatu bahasa yang terdiri atas subsistem fonologis, tatabahasa, kosakata, dan pragmatik serta menggunakannya dalam berbahasa.
2.        Faktor Lingkungan Sosial
Dalam kemampuan berbahasa, seorang anak memerlukan orang lain untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Anak yang secara sengaja dicegah untuk mendengarkan sesuatu atau menggunakan bahasanya untuk berkomunikasi, tidak akan memiliki kemampuan berbahasa yang baik. Mengapa dmeikian? Bahasa yang diperoleh anak tidak diwariskan secara genetis atau keturunan, tetapi diperoleh dalam lingkungan disekitarnya.
Senada yang diungkapkan Mar’at (2011:72) yang mengatakan bahwa semakin banyak rangsang bahasa yang diterima dari lingkungan maka semakin banyak pula asosiasi yang terjadi dan disimpan dalam ingatannya. Sedikit berbeda menurut Dardjowidjojo (2012: 199) bahwa faktor lingkungan memang penting, tetapi faktor itu hanya memicu apa yang sudah ada pada bilogi manusia. Anak bukan hanya melakukan peniruan, tetapi juga mengembangkan bahasanya sendiri.
Atas dasar itu seorang naak memerlukan orang lain untuk mengirim dan menerima tanda-tanda suara dalam bahasa dalam hal ini seorang ibunya sendiri. Seorang anak memerlukan seorang ibunya untuk mendengarkan apa yang ibunya ucapkan dan menyampaikannya dnegan tanda-tanda. Sehingga anak semakin lama akan menirukan apa yang telah ia dengar. Dengan demikian, merupakan salah satu faktor utama yang menentukan pemerolehan dan perkembangan bahasa anak.
3.        Faktor Intelegensi
Menurut Zanden (1980) menyatakan bahwa itelegensi sebagai kemampuan seseorang dalam memecahkan masalah. Intelegensi ini bersifat abstrak dan tidak dapat diamati secara langsung. Pemahaman kita tentang tingkat intelegensi sesorang hanya dapat disimpulkann melalui perilakunya.
Maka anak yang memiliki inteleginsi tinggi akan lebih cepat memperoleh bahasa. Akan tetapi, tergantung seberapa lama jagka waktu dan tingkat kreativitasnya serta faktor pendukung yang didapatkan dari faktor eksternal.
4.        Faktor Motivasi
Menurut Benson (1988) menyatakan bahwa kekuatan motivasi dapat menjelaskan  “mengapa seorang anak yang normal sukses mempelajari bahasa ibunya”. Sumber motivasi itu ada 2 sumber yaitu dalam dan luar diri anak.
Dalam perkembangan bahasa anak, anak belajar bahasa bukan karena terdorong karena ingin menguasai bahasa sendri. Tetapi, ia belajar bahasa karena kebutuhan dasar seperti lapar, haus, serta perlu diperhatikan oleh lingkungannya. Inilah yang disebut motivasi intrinsik yang berasal dari anak sendiri. Untuk itulah anak memerlukan komunikasi dnegan sekitarnya. Kebutuhan komunikasi ini diperlukan untuk memahami apa yang ia maksudkan dan memahami apa yang ia terima guna mewujudkan kebutuhan atau kepentingan dirinya.
5.     Faktor Kesehatan
Kesehatan merupakan faktor yang memepengaruhi perkembangan bahasa anak, terutama pada bahasa awal kehidupannya. Apabila anak mengalami sakit terus menerus maka anak tersebut akan mengalami kelambatan atau kesulitan dalam perkembangan bahasanya.
6.     Faktor Jenis Kelamin (seks)
Pada tahun pertama usia anak tidak ada perbedaan dalam vokalisasi antara pria dan wanita. Namun mulai sia dua tahun anak wanita menunjukkan perkembangan yang lebih.


DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Mar’at, Samsunuwiyati. 2005. Psikolinguistik Suatu Pengantar. Bandung: PT Refika Aditama.
Musfiroh, Tadkiroatun. 2017. Psikolinguistik Edukasional – Psikolinguistik untuk Pendidikan Bahasa. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Tarigan, Henry Guntur. 1986. Psikolinguistik. Bandung: Angkasa.
Teguhsubianto.blogspot.com. diakses tanggal 19 Juli 2018.

ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat ini peradaban umat manusia dalam sisi materi berada dalam puncak kejayaannya. Namun kemajuan peradaban ini lebih banyak dikendalikan oleh Barat, sehingga berimplikasi pada terjadinya penjajahan peradaban Barat atas dunia Islam. Peradaban Islam yang pernah mendominasi dunia, kini tenggelam dikangkangi hegemoni Barat. Kemajuan Barat ini disebabkan oleh penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. (Salafudin, 194: 2013)
      Pada milieu terakhir dari abad ke-14 Hijriyah ini, kita telah menyaksikan kebangkitan kesadaran Islam di seluruh dunia, serta perjuangan-perjuangan penting dari sebagian ummah untuk memeperoleh kemerdekaan. Akan tetapi di dalam abad ini juga kita menyaksikan kemunduran besar yang rata-rata menimpa ummat, yakni kecerobohan mereka untuk begitu saja meniru kebudayaan-kebudayaan asing. Yang terutama sekali menolong penyebaran pandangan asing ini adalah sistem pendidikan, yang terbelah atas dua cabang, yang pertama sistem “modern” dan yang kedua sistem “Islam”. (Ismail R. al-Faruqi, ix: 2003)
Hilangnya aspek kesakralan dari konsep ilmu Barat dan sikap keilmuan muslim yang menyebabkan terjadinya stagnasi setelah memisahkan wahyu dari akal dan memisahkan pemikiran dari aksi dan kultur dipandang sama berbahayanya bagi perkembangan keilmuan Islam. Oleh karena itu, muncullah sebuah gagasan untuk mempertemukan kelebihan-kelebihan di antara keduanya, sehingga lahir keilmuan baru yang modern tetapi tetap bersifat religius dan bernafaskan tauhid, gagasan ini kemudian dikenal dengan istilah Islamisasi Ilmu Pengetahuan. (M. Ghufron,

1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud Islamisasi Ilmu Pengetahuan?
2. Apa sajakah masalah-masalah yang dihadapi ummat?
4. Apa langkah-langkah Islamisasi Ilmu Pengetahuan menurut al-Faruqi?

1.3 Tujuan
1. Menjelaskan makna Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
2. Mengetahui masalah-masalah yang dihadapi ummat
3. Mengetahui langkah-langkah Islamisasi Ilmu Pengetahuan menurut al-Faruqi.  
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Islam adalah agama yang sempurna yang mengatur semua bidang kehidupan (QS Al-Maidah: 3). Islam juga agama yang tinggi dan tidak ada  yang  lebih  tinggi darinya. Kemajuan peradaban ini ditandai dengan revolusi ilmiah yang terjadi secara besar-besaran di dunia Islam. Cerdik cendikia pun bermunculan dalam berbagai disiplin pengetahuan, baik dalam bidang agama maupun non-agama (pengetahuan umum). Tidak hanya menyangkut permasalahan fiqih dan teologi, tetapi juga dalam bidang filsafat, matematika, astronomi, kedokteran dan lain sebagainya. Dalam bidang hukum dikenal beberapa ulama besar yang mazhab mereka diikuti oleh sebagian besar umat Islam di dunia hingga sekarang, seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbal. Dalam bidang filsafat dan dalam bidang pengem-bangan ilmu pengetahuan dan teknologi muncul nama-nama  Geber (Jabir Ibnu Hayyan), Hunayn Ibnu Ishaq, Tsabit Ibnu Qurro, al-Razi,  Al Kindi, Ibnu Sina, Al Farabi, Ibnu Washiyah, Al Khawarizmi, Al Farghani, Ibnu Rusyd dan Ibnu Khaldun (Hasjmi, dalam Salafudin, 2003 : 196).
Namun kegemilangan peradaban umat Islam tersebut, pada saat ini telah berlalu dan  hanya  menyisakan  nostalgia keindahan sejarah. Sedikit demi sedikit umat Islam mulai mengalami kemunduran dan kelemahan di berbagai bidang. Dimulai dengan terjadinya perpecahan di kalangan umat Islam dan saling berebut kekuasaan di kalangan kerajaan yang mengakibatkan merosotnya kekuasaan khalifah serta melemahnya posisi umat Islam sampai akhirnya terjadi tragedi yang menjadi catatan hitam dalam sejarah, jatuhnya Baghdad ke tangan Hulagu Khan yang diikuti dengan pengrusakan pusat-pusat kegiatan ilmiah dan pembantaian secara besar-besaran terhadap para guru dan ilmuwan. Juga jatuhnya Andalusia yang diikuti dengan pembasmian kebudayaan dan identitas Islam sampai ke akar-akarnya (Quthub, dalam Salafudin, 2003 : 196-197).
Sejak terjadinya pencerahan di Eropa, perkembangan ilmu-ilmu rasional dalam semua bidang kajian sangat pesat dan hampir keseluruhannya dipelopori oleh ahli sains dan cendikiawan Barat. Akibatnya, ilmu yang berkembang dibentuk dari acuan pemikiran falsafah Barat yang dipengaruhi oleh sekularisme, materialisme dan humanisme sehingga konsep, penafsiran, dan makna ilmu itu sendiri tidak bisa terhindar dari pengaruh pemikiran sekulerisme, materialisme dan humanisme dengan menghilangkan segala kemungkinan nilai-nilai transendental.  Konsep pemikiran demikian dikonsumsi oleh umat Islam, yang karena posisinya sebagai umat yang kalah, cenderung silau dan  tergantung kepada Barat. Umat Islam, mengidap penyakit yang oleh Abulhassan Banisadr disebut Westomania, penyakit kejiwaan yang menganggap Barat segala-galanya (Amien, dalam Salafudin, 2003 : 197).
Pada sisi lain, ada kecenderungan keilmuan Islam yang bersentuhan dengan nilai-nilai teologis dan fiqih, terlalu berorientasi pada religiusitas dan spiritualitas tanpa mempedulikan betapa pentingnya ilmu-ilmu umum yang dianggap sekuler. Ada kecende- rungan pemikiran dikotomik di kalangan umat Islam.  Sains umum (sains modern Barat) sering dianggap rendah status keilmuannya (Kartanegara, dalam Salafudin, 2003 : 198).
Demi menjaga identitas keislaman, ada kecenderungan umat Islam bersikap defensif dan eksklusif. Ini terjadi misalnya di Pondok Pesantren dan Madrasah yang cenderung hanya menekankan pengkajian keilmuan keislaman. Di lembaga pendidikan umum cenderung mengabaikan pengkajian keilmuan keislaman. Hilangnya aspek kesakralan dari konsep ilmu umum serta sikap keilmuan muslim yang defensif menyebabkan terjadinya stagnasi . Hal ini   berbahaya bagi perkembangan keilmuan Islam. Karena itu, muncullah sebuah gagasan untuk mempertemukan kelebihan-kelebihan di antara keduanya, sehingga lahir keilmuan baru yang modern tetapi tetap bersifat religius dan bernafaskan tauhid, gagasan ini kemudian dikenal dengan istilah "Islamisasi Ilmu Pengetahuan” (Salafudin, 2003 : 199).

 2.2. Malaise yang Dihadapi Ummah
     Menurut KBBI, malaise adalah (keadaan) lesu dan serba sulit, perasaan kurang, yang mendahului timbulnya keadaan sakit yang lebih gawat. Malaise yang dihadapi umat menurut Isma’il Raji al Faruqi adalah sebagai berikut.
1. Segi Politik
Umat terpecah-pecah, kekuatan-kekuatan kolonial telah berhasil memecah-mecah ummah menjadi kurang lebih 50 negara yang berdiri sendiri, dan saling berhantam di antara mereka.
2. Segi Ekonomi
Ummah belum maju dan terbelakang. Mayoritas anggota-anggotanya, di manapun, adalah orang-orang yang buta huruf. Produksi barang dan jasa mereka berada jauh di bawah kebutuhan.
3. Segi Religio-Kultural
Abad-abad kemerosotan kaum Muslimin telah menyebabkan berkembangnya buta-huruf, kebodohan dan tahyul di antara mereka. Pemimpin-pemimpin muslim yang telah mengalami westernisasi tidak mengetahui bahwa program-program mereka akan merobohkan agama Islam dan kultur warganya. Oleh kolonialis atau anteknya, segala sesuatu yang berbau Islam diserang, integritas Al-Quran, kerasulan Nabi Muhammad SAW, kebenaran sunnahnya, kesempurnaan syari’ah, prestasi-prestasi gemilang yang dicapai kaum Muslimin di dalam kultur dan kebudayaan, tidak satupun lepas dari serangan.
4. Segi Pendidikan
Sistem pendidikan yang merata dan umum berlaku merupakan inti dari malaise yang dihadapi ummah. Keadaan pendidikan di Dunia Islam adalah yang terburuk. Sistem pendidikan yang sekuler memegang proporsi yang besar, dan mencampakkan sistem Islam dalam bidang ini. Pendidikan islam, kebanyakan merupakan usaha swasta yang mendapat dana dari masyarakat.
Mutu lembaga di Dunia Islam yang rendah merupakan masalah yang tak terpecahkan. Pemimpin-pemimpin pendidikan di Dunia Islam adalah orang yang tidak mempunyai ide, tanpa kultur, dan tanpa tujuan. Materi dan metodologi yang diajarkan di Dunia Islam adalah jiplakan dari Barat yang memberi pengaruh jelek, mendeislamisasikan siswa, dan membuat para lulusan menginjak tahap sophomore, mereka mengira tahu tetapi sesungguhnya yang mereka ketahui sedikit sekali. Dengan demikian, kemungkinan untuk memperoleh keunggulan di dalam disiplin-disiplin Barat tidak didapatkan oleh siswa Muslim.
Dosen di universitas Dunia Isalm tidak memiliki wawasan (vision) Islam dan tidak didorong oleh cita-cita islam. Mahasiswa yang masuk perguruan tinggi dibekali sedikit sekali mengenai Islam.

2.3. Langkah-langkah Islamisasi Ilmu Pengetahuan Menurut al-Faruqi
Karya dari al-Faruqi tentang ide Islamisasi sains adalah “Islamization of knowledge: General Principles and Work Plan”. Ide al-Faruqi ini sebagaimana juga banyak menjadi landasan awal ide Islamisasi sains Nasr dan Bucaille, yaitu berawal dari keprihatinannya yang mencermati bahwa dalam jajaran peradaban dunia dewasa ini umat Islam hampir di semua segi baik politik, ekonomi, budaya maupun pendidikan berada pada posisi bangsa yang paling rendah. Al-Faruqi menyebut hal ini sebagai malaise yang dihadapi umat (Zainal: 2007).
Ilmu pengetahuan menurut tradisi Islam tidak menerangkan dan memahami realitas sebagai entitas yang terpisah dan independen dari realitas absolut (Allah), tetapi melihatnya sebagai bagian integral dari eksistensi Allah. Oleh karena itu, Islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-Faruqi harus diarahkan pada suatu kondisi analisis dan sintesis tentang hubungan realitas yang sedang dipelajari dengan hukum (pola) hukum Tuhan.
Langkah-langkah untuk mencapai proses islamisasi ilmu pengetahuan menurut Isma’il Raji al Faruqi adalah sebagai berikut.
1. Penguasaan Disiplin Ilmu Modern
Disiplin-disiplin ilmu dalam tingkat kemajuannya di Barat diuraikan menjadi kategori-kategori, prinsip-prinsip, metodologi-metodologi, problema-problema dan tema-tema. Penguraian tersebut harus mencerminkan ‘daftar isi’ sebuah buku. Hasil uraian tersebut harus berbentuk kalimat-kalimat yang memperjelas istilah-istilah teknis, menerangkan kategori, prinsip, problema, dan tema pokok disiplin ilmu Barat.
2. Survey Disiplin Ilmu
Setiap disiplin ilmu harus disurvei dan esei-esei harus ditulis dalam bentuk bagan mengenai asal-usul dan perkembangannya beserta pertumbuhan metodologinya, perluasan cakrawala wawasannya, dan tak lupa sumbangan-sumbangan pemikiran yang diberikan oleh para tokoh utamanya. Langkah ini bertujuan untuk memantapkan pemahaman Muslim akan disiplin ilmu yang dikembangkan di dunia Barat.
3. Penguasaan Khasanah Islam: Sebuah Antologi
Sebelum menyelami seluk-beluk relevansi islam bagi suatu disiplin ilmu modern, perlu ditemukan sampai berapa jauh khasanah ilmiah islam menyentuh dan membahas obyek disiplin ilmu tersebut.
Langkah ini meliputi persiapan penerbitan beberapa jilid antologi bacaan-bacaan pilihan dari khasanah Islam untuk setiap disiplin ilmu modern. Antologi ini memberi kemudahan bagi para ilmuwan Muslim modern untuk mengetahui sumbangan khasanah ilmiah Islam di bidang keilmuan yang menjadi spesialisasi mereka.
4. Penguasaan Khasanah Ilmiah Islam Tahap Analisa
Untuk dapat mendekatkan karya-karya hasil khasanah ilmiah islam dengan para ilmuwan muslim yang terdidik dalam cara Barat, kita perlu melakukan sesuatu yang lebih besar daripada sekedar menyajikan berhalaman-halaman bahan dalam bentuk antologi.
5. Penentuan Relevansi Islam yang Khas Terhadap Disiplin-disiplin Ilmu
Relevansi-relevansi khasanah islam yang spesifik pada masing-masing ilmu harus diturunkan secara logis.
6. Penilaian Kritis terhadap Disiplin Ilmu Modern: Tingkat Perkembangannya di Masa Kini
Ini adalah langkah utama dalam proses islamisasi ilmu pengetahuan. Permasalahan pokok dan tema-tema abadi masing-masing disiplin harus dianalisa dan diuji akan reduksionisme, kesesuaian, kemasukakalan dan ketepatan asasnya dengan konsep panca kesatuan yang diajarkan islam.
7. Penilaian Kritis terhadap Khasanah Islam: Tingkat Perkembangannya Dewasa Ini
Khasanah islam adalah Qur’an suci, firman-firman Allah, dan sunnah Rasul SAW. Tugas untuk menilai khasanah islam pada suatu bidang kegiatan manusia harus ditangani oleh para ahli di bidang tersebut.
8. Survey Permasalahan yang Dihadapi Umat Islam
Kearifan yang dikandung setiap disiplin ilmu harus dihadapkan dan dimanfaatkan untuk menanggulangi permasalahan umat islam agar kaum muslimin dapat memahaminya dengan benar, menilai dengan tepat pengaruhnya pada kehidupan umat serta memetakan dengan teliti semua pengaruh yang diberikannya pada tujuan global islam.
9. Survey Permasalahan yang dihadapi Umat Manusia
Sebenarnya, amanah Allah SWT meliputi seluruh jagad raya, dan sebagai konsekuensinya tanggung jawab terhadap manusia juga tercakupdi dalamnya. Umat islam memiliki wawasan yang diperlukan untuk kemajuan manusia untuk membuat sejarah berjalan kea rah apa yang dikehendaki Allah SWT.
10. Analisa Kreatif dan Sintesa
Sintesa kreatif harus dicetuskan diantara ilmu-ilmu islam tradisional dan disiplin-disiplin ilmu modern untuk dapat mendobrak kemandegan selama beberapa abad terakhir ini.
11. Penuangan kembali Disiplin Ilmu Modern ke dalam Kerangka Islam: Buku-buku Daras Tingkat Universitas
Pada dasarnya, para pemikir islam tidak akan tiba pada suatu penyelesaian yang sama, atau memilih pilihan yang sama dalam hal penentuan relevansi islam  terhadap eksistensi umat islam di masa kini dan di masa mendatang.
12. Penyebarluasan Ilmu-ilmu yang Telah diislamkan
Adalah suatu kesia-siaan apabila hasil karya para ilmuwan muslim hanya disimpan sebagai koleksi pribadi mereka masing-masing. Karya apa saja yang dibuat berdasar Lillahi Ta’ala adalah menjadi milik seluruh umat islam. Pemanfaatan karya-karya tersebut tidak mendapat berkah Allah kecuali jika dilaksanakan untuk sebanyak mungkin makhluk-Nya.


BAB III
PENUTUP

 3.1. Kesimpulan
Dari hasil makalah ini, dapat disimpulkan beberapa hal dari Islamisasi Ilmu Pengetahuan antara lain:
1. Islamisasi pengetahuan adalah gagasan untuk mempertemukan kelebihan-kelebihan di antara keilmuan Islam dan keilmuan secara umum, sehingga lahir keilmuan baru yang modern tetapi tetap bersifat religius dan bernafaskan tauhid.
2. Malaise yang dihadapi umat mencakup dari segi politik, ekonomi, religio-kultural, dan pendidikan.
3. Proses untuk mencapai Islamisasi ilmu pengetahuan menurut al-Faruqi ada 12 langkah yang harus dijalani.

3.2. Saran
Dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan sehingga tidak sesuai dengan keinginan pembaca. Saran sangat kami harapkan agar kekurangan-kekurangan tersebut dapat penulis perbaiki.
















DAFTAR PUSTAKA
Salafudin. Islamisasi Ilmu Pengetahuan. 2003. Forum Tarbiyah Vol. 11, No. 2, Desember 2013. Diunduh tanggal 2 Juni 2018.
Faruqi, Isma’il Raji al. 2003. Islamisasi Pengetahuan. Bandung: Penerbit Pustaka.