1. Profil Penulis
Yoyo C. Durachman adalah
staf pengajar dan aktifis drama yang lahir di Bandung, 21 September 1954. Ia
adalah lulusan dari STSI Surakarta dengan gelarnya sebagai Sarjana Seni. Tidak
kurang dari 30 pementasan telah dilakukan dengan kapasitas sebagai sutradara,
pemain, penata pentas, konsultan dan pimpinan produksi. Dunia Seolah-olah
adalah naskah drama yang ia tulis dan dibukukan bersama naskah drama lain milik
Joko Kurnain, Benny Johanes, Adang Ismet, Arthur S. Nalan, dan Harris
Sukristian.
2.
Sinopsis
Naskah
drama Dunia Seolah-olah menceritakan penderitaan pejabat yang tengah menjalani
kurungan penjara karena ketamakannya. Tokoh-tokohnya tidak diberi nama secara
jelas, hanya jenis kelamin yang membedakannya. Tokoh Laki-laki I adalah
gambaran pejabat yang KKN. Sedangkan Laki-laki II adalah orang yang membuat Laki-laki
I menjadi orang terhormat, berkuasa, berpengaruh, kaya raya, tetapi sekaligus terpuruk,
dihujat dan dianggap sampah. Keduanya berada dalam penderitaan batin karena
merasa berdosa terhadap kemanusiaan. Laki-laki I merasa bahwa Laki-laki II
telah memperdayainya, menyiksa dan merekayasa semua sehingga ia berhasrat ingin
membunuhnya. Ia merasa bosan, menderita, dan terhina. Demikian juga yang
dirasakan oleh Laki-laki II, ia merasa usahanya selama ini untuk membuat
Laki-laki I berkuasa, kaya raya, menjadi orang terhormat tidak dihargai.
Sebenarnya mereka sadar bahwa mereka adalah orang-orang yang serakah sehingga
mereka terperosok dalam lubang ketidakberadaban.
Penderitaan Laki-laki I
dalam penjara dicoba untuk diatasi dengan adanya adegan Perempuan I sebagai Ibu
yang mengajaknya kembali ke masa kanak-kanak. Juga dengan kembalinya masa-masa
bahagia dengan wanitanya yaitu Perempuan II. Namun, ia sadar kalau ia benci
dangan perempuan II karena telah ikut andil membuatnya menjadi pesakitan.
Akhirnya, Laki-laki I
menyerah dengan keadaan, ingin gantung diri saja agar penderitaannya berakhir,
tapi talinya terputus. Kehidupan belum berakhir, penderitaan masih
diperpanjang. Semakin lama, tubuh mereka semakin ringkih. Mereka mengisi
kehidupan dengan keseolah-olahan yang mereka miliki. Capek? Buatlah seolah-olah
tidak capek. Haus? Buatlah seolah-olah tidak haus. Jauh? Buatlah seolah-olah
dekat. Ahirnya, mereka tidak dapat lagi membuat dunia seolah-olah lagi.
3.
Kajian
Drama berbeda dengan
prosa cerita dan puisi karena dimaksudkan untuk di pentaskan. Pembaca yang
membaca teks drama tanpa menyaksikan pementasannya mau tidak mau membayangkan jalur
peristiwa di atas panggung (Jan van Luxemburg, 1992:158). Drama dibedakan
dengan prosa atas dasar pertimbangan cara-cara penulisan naskah dan penampilan
isi. Seperti diketahui, drama pada umumnya diawali dengan prolog, pembagian
atas babak cerita, dan epilog. Drama disajikan dengan menyebutkan para pelaku
dan para pemeran lain pada awal dialog dan cerita (Nyoman Kutha Ratna, 2008:
368). Menurut H. G. Tarigan (1984:74) unsur-unsur drama meliputi alur,
penokohan, dialog, dan aneka sarana kesatraan dan kedramaan.
Sebagai drama tulis
analisis stilistika drama sama dengan cerpen dan novel. Drama juga terdiri atas
cerita, bagaimana plot disusun. Perbedaannya, cerpen dan novel hanya memerlukan
proses pembacaan, sedangkan drama harus dipentaskan. Gaya bahasa, baik
intensitas pemakaiannya maupun fungsi dan kedudukannya dalam struktur totalitas
karya berbeda sesuai dengan genre sastra (Nyoman Kutha Ratna, 2008: 62). Kajian
ini hanya akan mengerucut pada gaya bahasa yang digunakan dalam naskah drama
Dunia Seolah-olah karya Yoyo C. Durachman.
Gaya bahasa menurut
Gorys Keraf (2004) dibedakan ke dalam empat kategori: (i) gaya bahasa berdasarkan
pilihan katanya, gaya bahasa dibedakan menjadi gaya bahasa resmi, gaya bahasa
tak resmi, dan gaya bahasa percakapan; (ii) gaya bahasa berdasarkan nadanya,
gaya bahasa dibagi menjadi tiga, yaitu gaya sederhana, gaya mulia dan
bertenaga, dan gaya menengah; (iii) gaya bahasa berdasarkan struktur
kalimatnya, gaya bahasa dibagi menjadi lima, yaitu klimaks, antiklimaks,
paralelisme, antitesis, dan repetisi; (iv) gaya bahasa berdasarkan langsung
tidaknya makna, terdapat gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan.
Berdasarkan pilihan
katanya, gaya bahasa pada naskah drama Dunia Seolah-olah masuk dalam gaya bahasa
percakapan. Pilihan kata yang digunakan berupa kata-kata populer atau kata-kata
percakapan. Kalimat-kalimatnya singkat dan bersifat fragmenter, kalimat-kalimat
terdengar seolah-olah tidak terpisahkan oleh perhentian-perhentian final, seakan
disambung terus-menerus.
“LAKI-LAKI II :
(MEMOTONG) Pak Dalang, saya bisanya kok banyak banget.
DALANG :
Itu tandanya kau orang hebat.
LAKI-LAKI II : Ah, yang benar… hebat apanya? Aku
hanya menjadi begundal dia! (MENUNJUK KE LAKI-LAKI I YANG SEDANG TIDUR)
DALANG :
Di situlah kamu hebatnya. Bersuara tanpa terdengar, hadir tanpa terlihat,
bergerak tanpa melabrak ……”
Gaya
bahasa berdasarkan nada didasarkan pada sugesti yang dipancarkan dari rangkaian
kata-kata yang terdapat dalam sebuah wacana. Sering kali sugesti ini akan lebih
nyata kalau diikuti dengan sugesti suara dari pembicara, bila sajian yang
dihasilkan adalah bahasa lisan (Gorys Keraf, 2004:121). Berdasarkan nada,
penulis mempergunakan ketiga jenis nada. Penulis mempergunakan semua
kemungkinan, sesuai keadaan. Pilihan nada juga dapat ditentukan dari masalah
yang dikemukakan. Tokoh Laki-laki I dan Laki-laki II cenderung menggunakan gaya
sederhana. Tokoh Dalang banyak menggunakan gaya mulia dan bertenaga. Tokoh
Perempuan I dan Perempuan II menggunakan gaya menengah.
LAKI-LAKI I : Dengan apa lagi kita harus mengisi
kehidupan yang masih tersisa ini?
LAKI-LAKI II : Tentu saja dengan keseolah-olahan yang masih
kita miliki.
LAKI-LAKI I : Dengan tubuh kita yang sudah seperti ini,
dengan ingatan kita yang sudah pikun, apakah kita masih mampu membuat
seolah-olah?
LAKI-LAKI II : Mampu. Buatlah seolah-olah kita masih hidup.
LAKI-LAKI I : Tapi kita memang masih hidup.
LAKI-LAKI II : Tidak. Kita sudah mati. Fikiran kita sudah
beku, hati nurani kita sudah sirna, semangat kita sudah musnah.
Nampak pada kutipan
dialog antara Laki-laki I dan Laki-laki II menggunakan gaya sederhana. Gaya ini
dipakai untuk memberi instruksi atau perintah dari Laki-laki II kepada
Laki-laki I untuk membuat dunia seolah-olah mereka.
DALANG :
Kehidupan belum berakhir, kebebasan belum bisa dilaksanakan, dosa-dosa belum
bisa diampunkan, perjalanan masih panjang. Nikmatilah kesepian, nikmatilah
kebosanan, nikmatilah keputusasaan…karena kalian pantas untuk
mendapatkan…(LAKI-LAKI I DAN II TERJAGA DARI TIDURNYA. MEREKA BEREBUT TEMPAT
TIDUR. TEMPAT TIDUR ITU DIBAGI DUA. MEREKAPUN MENERUSKAN TIDURNYA DAN BERMIMPI
YANG SEBENAR-BENARNYA MIMPI).
DALANG :
Bangun, bangunlah laki-laki malang mimpimu telah berakhir, perjalananmu masih
panjang, mentari siang masih mau menonton kisahmu yang lebih kelam. (LAKI-LAKI
I DAN II SERENTAK BANGUN. MEREKA MENDAPATKAN TUBUHNYA SEMAKIN RINGKIH).
Pada
kutipan dialog di atas, tokoh Dalang menggunakan gaya mulia dan bertenaga. Hal
ini digunakan untuk menggerakkan tokoh-tokoh lain, yaitu Laki-laki I dan
Laki-laki II. Dalang dalam naskah drama ini bertugas untuk mengatur jalannya
cerita.
PEREMPUAN II : Kaget ya melihat aku?
LAKI-LAKI I : Nyi Mas…Nyi Mas Pelepasbirahiwati
jungjunganku. Aku dengar kau sudah pergi ke negeri sebrang. Aku dengar kau
sudah kawin lagi dengan seorang pemuda di sana.
PEREMPUAN II : Ya, benar. Tapi aku tetap selalu
merindukanmu. Aku kangen dengan suaramu yang merdu itu…
LAKI-LAKI I : Ah, aku bernyanyi hanya untuk
mengalihkan perhatian saja. Bukan untuk menyaingi Broery Pesolima.
PEREMPUAN II : Aku tidak perduli apa motivasimu menyanyi.
Aku tetap terkenang denganmu alunan suaramu yang merdu, dengan candamu, dengan
kepolosanmu.
Dari kutipan dialog di
atas, gaya menengah dapat dilihat dari nada Perempuan II. Gaya ini diarahkan
kepada usaha untuk menimbulkan suasana senang dan damai. Perempuan II mencoba
membuat suasana hati Laki-laki I menjadi senang. Perempuan II menggunakan
kata-kata yang mebuat Laki-laki I menjadi terhibur dan tersanjung.
Berdasarkan
struktur kalimatnya, naskah drama Dunia Seolah-olah dijumpai adanya repetisi.
Repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang
dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai (Gorys
Keraf, 2004:127).
LAKI-LAKI I :
Tapi itu slogan-slogan dulu. Kini aku terjepit kedalam dunia tidak bermakna; katanya aku KKN, katanya aku melanggar HAM, katanya
aku refresif, katanya aku
berlaku tidak demokratis, katanya aku
sayang anak dengan mengorbankan rakyat banyak, katanya aku berlagak bagai seorang raja, katanya aku suka menerima suap, katanya aku suka dibantu paranormal, katanya aku ingin melanggengkan kekuasaan, katanya aku tukang membabat hutan, katanya aku harus diseret ke pengadilan, …….tapi katanya ada yang
membelaku di luar sana… apa ia….?.......
Repetisi
pada kutipan dialog diatas merupakan cara untuk menekankan makna dan kesan
emotif. Laki-laki I merasa dirinya banyak yang mencemooh dan membencinya,
hingga semua sifat buruk seakan-akan ada pada dirinya.
Berdasarkan langsung
tidaknya makna, terdapat gaya bahasa retoris dan kiasan. Gaya bahasa retoris
yaitu penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek teretentu (Gorys
Keraf, 2004:129). Dalam naskah drama Dunia Seolah-olah dapat dijumpai gaya
bahasa retoris berupa apofasis atau preterisio, elipsis, dan hiperbol.
PEREMPUAN I :
Apa maksudmu: “Aku tidak akan bisa jadi begini?” Kau telah begitu sangat
berkuasa, kaya raya dan kemudian terpuruk di tempat ini? Itu maksudmu?
……………………………………………………………………………………………………..
LAKI-LAKI I :
Tetapi kau tidak rindu dengan uangku, kan? Empat puluh milyar untuk bekal hidup
di negeri seberang sana lebih dari cukup bukan?
Pada
kutipan diatas dapat dijumpai apofasis
atau preterisio. Penulis mencoba menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya
menyangkal. Penulis ingin menegaskan bahwa Laki-laki I telah terpuruk, kalah
dan dipenjara, tetapi terlebih dahulu disangkal dengan kata berkuasa dan kaya raya. Pada kutipan dialog kedua, Laki-laki I sebenarnya ingin
menegaskan bahwa ia telah membekali uang senilai empat puluh milyar. Penulis berpura-pura
membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenarnya ia menekankan hal itu.
Berpura-pura melindungi atau menyembunyikan sesuatu, tetapi sebenarnya
memamerkannya.
LAKI-LAKI II: (TERTAWA SINIS) Kekebalan sangat
dibutuhkan dalam menghadapi situasi semacam ini. Ngomong-ngomong Tuan ingin
menu macam apa untuk sarapan pagi ini. Stek la tikus, sambal goreng cecunguk
dengan saus rasa kelek atau…
……………….
LAKI-LAKI II: Tapi malah saya diperlakukan tidak
manusiawi Pak Dalang. Pak Dalang sendiri kalau dapat peye malah ngajak orang
lain. Pak Dalang, saya dipenjara, tidak diberi makan, diputus hubungan dengan
dunia luar, tidak boleh tidur dengan istri saya dan……
Kutipan
diatas mengandung elipsis. Elipsis
adalah suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan
mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar, sehingga
struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi pola yang berlaku (Gorys Keraf,
2004:132). Dialog pertama dan kedua, di bagian akhir kalimat ada kata-kata yang
dihilangkan, tetapi dapat ditafsirkan oleh pembaca. Misalnya, Stek la tikus, sambal goreng cecunguk dengan
rasa kelek, atau sate lidah buaya darat; Pak Dalang, saya dipenjara, tidak diberi makan, diputus hubungan dengan
dunia luar, tidak boleh tidur dengan istri saya dan tidak bisa bermain dengan
anak saya. Penafsiran kata-kata yang dihilangkan ini sangat tergantung dari
pembaca atau pendengarnya.
DALANG :
Saya telah mensurveynya. Percayalah, masyarakat seratus persen mendukungmu,
mereka berada di belakangmu, bahkan mereka berani mati untukmu.
LAKI-LAKI II: Ya, benar. Masyarakat berada di
belakangmu. Kau akan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah bangsa kita
sebagai tokoh yang membela kepentingan masyarakat banyak.
Kutipan di atas
mengandung hiperbol yaitu gaya
bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan
membesar-besarkan sesuatu hal (Gorys Keraf, 2004:135). Dialog tokoh Dalang dan
Laki-laki II terlalu melebih-lebihkan. Mereka mencoba menghibur Laki-laki I
yang merasa putus asa dengan hidupnya. Mereka menyemangati Laki-laki I dengan
mengatakan bahwa banyak orang yang masih mendukungnya.
Selain gaya bahasa retoris, dalam
naskah drama Dunia Seolah-olah juga terdapat gaya bahasa kiasan. Gaya bahasa
kiasan yang ada pada naskah drama Dunia Seolah-olah adalah persamaan atau
simile, metafora, personifikasi, eponim, ironi, dan sarkasme.
LAKI-LAKI I : Tetapi kenapa aku melihatmu seperti
Ibu?
Simile
adalah perbandingan yang bersifat eksplisit, langsung menyatakan sesuatu sama
dengan hal yang lain (Gorys Keraf, 2004:138). Dalam dialog di atas, terdapat
kata seperti, yang menandai bahwa
kalimat tersebut mengandung persamaan. Laki-laki I menganggap Perempuan II sama
seperti Ibu.
LAKI-LAKI I :
Cukup seperti biasa saja. Gulai
khayalanmu ditambah sedikit rasa pedas umpatanmu.
LAKI-LAKI II :
Baiklah Tuan, saya akan segera mempersiapkannya. (LAKI-LAKI II MEMPERSIAPKAN
SEGALA KEPERLUAN UNTUK SARAPAN PAGI. KEMUDIAN MEREKA MAKAN DENGAN NIKMAT DAN
RAKUSNYA. SEMUA MENU MAKANAN YANG TERHIDANG DISANTAPNYA DENGAN LAHAP).
LAKI-LAKI I I:
Sangat nikmat menyantap daging para
buruh dan minum keringat petani.
…………………………………………………………………………………………………......
LAKI-LAKI I :
Wuaaaaahhhhh. Boro-boro. Mereka malah rame-rame cuci tangan, menyelamatkan diri, bahkan kini ikut-ikutan
menghujatku… sialan…… sompret…… bedebah……
Kutipan
dialog di atas mengandung metafora. Metafora
adalah analogi yang membandingkan dua hal secara langsung dalam bentuk yang
singkat (Gorys Keraf, 2004:139). Metafor yang digunakan dalam naskah drama ini
cukup banyak dibandingkan dengan jenis yang lain. Penulis banyak menggunakan
ungkapan-ungkapan metaforis yang harus ditemukan sendiri maknanya oleh para
pembaca atau pendengar.
LAKI-LAKI I :
Makanan tadi membuat kita tak berdaya.
……………………………………………………………………………………………………..
LAKI-LAKI II :Itulah
persoalannya. Aku merasa terjebak oleh diriku sendiri. Fikiran-fikiranku telah
menghukumku, tindakan-tindakanku telah menghukumku, ambisi-ambisiku telah
menghukumku, omongan-omonganku telah menghukumku…
Personifikasi
adalah gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau
barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan
(Gorys Keraf, 2004:140). Pada kutipan dialog pertama, makanan digambarkan memiliki sifat manusia yang membuat tak berdaya. Sedangkan pada dialog kedua
fikiran, tindakan, dan omongan yang
tak bernyawa digambarkan dapat menghukum
seperti manusia.
LAKI-LAKI I :Ah, aku bernyanyi hanya untuk mengalihkan perhatian saja. Bukan
untuk menyaingi Broery Pesolima.
Eponim
adalah suatu gaya dimana seseorang yang namanya begitu sering dihubungkan
dengan sifat tertentu, sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu
(Gorys Keraf, 2004:141). Broery Pesolima
adalah penyanyi yang memiliki suara merdu dan jernih dan sangat terkenal di era
90-an. Hal ini dapat dihubungkan dengan setting waktu. Naskah drama Dunia
Seolah-olah berlatarkan tahun 90-an dimana pada era tersebut banyak pejabat
yang melakukan KKN.
LAKI-LAKI
II : (MEMOTONG) Pak Dalang, saya bisanya
kok banyak banget.
DALANG : Itu tandanya kau orang hebat.
Ironi
atau sindiran ialah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau
maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya (Gorys
Keraf, 2004:143) . Rangkaian kata-kata yang dipergunakan mengingkari maksud
yang sebenarnya.
LAKI-LAKI
I : Padahal kita Cuma maling ayam dan
jemuran milik tetangga.
LAKI-LAKI
II :buatlah seolah-olah kita penjahat
politik, pembobol bank dan tokoh subversif.
LAKI-LAKI
I : Woe… hebat! Apakah kita aman disini?
……………………………………………………………………………………………………...
PEREMPUAN
I: Diam kau parasit!!!
……………………………………………………………………………………………………...
LAKI-LAKI II : Jangan percaya kepada apa yang diomongkannya tadi. Itu hanya
isyu, hasutan, isapan jempol. Dia seorang provokator. Anda sendiri tahu,
penyebar isyu itu orang yang tidak bermoral.
Sarkasme
adalah suatu acuan yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir. Gaya ini
akan selalu menyakiti hati dan kurang enak didengar (Gorys Keraf, 2004:143).
Kalimat yang mengandung sindiran cukup banyak ditemukan dalam naskah drama ini.
Naskah ini merupakan sindiran dari penulis terhadap orang-orang yang melakukan
praktik KKN. Namun, sindiran dibungkus dalam balutan kata-kata yang tidak
secara langsung, tetapi mengena akan makna yang terkandung di dalamnya. Pilihan
kata yang dipakai membawa pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana bahasa
bisa dikreasikan dan didayakan sedemikian rupa sehingga membuat komunikasi
bahasa menjadi lebih segar dan efektif.
4.
Simpulan
Dari kajian diatas
dapat disimpulkan bahwa penulis menggunakan gaya bahasa yang beragam.
Berdasarkan pilihan katanya, naskah drama tersebut menggunakan gaya bahasa
percakapan. Berdasarkan nadanya, gaya bahasa yang dipilih menggunakan ketiga
jenis gaya yaitu gaya sederhana, gaya mulia dan bertenaga, dan gaya menengah.
Berdasarkan struktur kalimatnya, dijumpai repetisi. Berdasarkan langsung
tidaknya makna, terdapat gaya bahasa retoris dan kiasan. Gaya bahasa retoris berupa apofasis atau
preterisio, elipsis, dan hiperbol. Gaya bahasa kiasan berupa simile, metafora,
personifikasi, eponim, ironi, dan sarkasme.
Beragamnya gaya bahasa
yang dipakai penulis bertujuan agar naskah drama dapat mencapai efek estetis.
Pendayagunaan gaya bahasa dimaksudkan untuk menegaskan, mengintensifkan,
menghidupkan, dan mengonkretkan penuturan.
DAFTAR
PUSTAKA
Gorys Keraf. 2004. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT
Gramedia.
Luxemburg, Jan van.
1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta:
PT Gramedia.
Nurgiyantoro, Burhan.
2017. Stilistika. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Ratna,
Nyoman Kutha. 2008. Stilistika Kajian
Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sukristian, Harris.
2007. Kumpulan Naskah Drama. Bandung:
Kelir.
Tarigan, Henry Guntur.
1984. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra.
Bandung: Angkasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar