MEMBURU CAPUNG
-untuk
Kautsar Muhammad Attar
Jantan atau betina tidak penting benar, capung itu
terbang rendah diburu
anak-anak sambil lari dan tertawa riang di lapangan
terbuka. Rumput ilalang
bergoyang dimainkan angin lalu. Aku duduk di atas
hamparan rumput
pinggir lapang, diseret kenangan warna arang. Apakah
dulu aku pernah lari
seperti mereka memburu capung? Yang aku ingat hanya
wajah ibu, dengan
alir air mata di pipinya.
Nampak bahwa dalam
puisi ini, pembaitan tidak diperhatikan. Tiap baris sajaknya terdiri dari
bagian-bagian yang susunannya berbeda. Baris puisi berupa kalimat-kalimat yang masih
memperhatikan tanda baca. Puisi ini tidak banyak menggunakan
penyimpangan-penyimpangan dari tata bahasa normatif. Puisi ini juga masih
terlihat cukup banyak kata berimbuhan yang tidak dihilangkan seperti diburu,
tertawa, memburu, bertengkar, melihat, semacam, dan dibaca. Lantas apakah ini
masih dapat disebut sebagai puisi?
Dalam menulis puisi
ini, Soni Farid Maulana menggunakan kebebasannya dalam berekspresi. Ia merekam
dan menginterpretasikan pengalamannya yang penting, lalu digubah dalam wujud
yang paling berkesan. Ia tidak mempedulikan ikatan-ikatan formal seperti puisi
pada umumnya. Ia menulis dan mengombinasikan sarana-sarana kepuitisan yang
disukainya asal sarana yang dipilih dapat mengekspresikan jiwanya. Ia menulis
puisi berdasarkan hakikatnya, bukan berdasarkan bentuk formalnya. Puisi ini
terikat oleh hakikatnya sendiri. Maka biarlah pembaca yang mendefinisikan
kebebasan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar