Cerita Kedasih adalah
cerpen karya R Giryadi yang mengisahkan seorang ibu bernama Kedasih dengan anak
perempuannya bernama Mimin. Cerpen ini sangat menarik. Diceritakan Kedasih dan
Mimin hidup menderita di rumah mewah Tuan dan Nyonyanya. Setiap hari, Kedasih
dan Mimin bekerja mengurus dan melayani Tuan, Nyonya, dan anak-anaknya. Kedasih
selalu mangalami pelecehan seksual dan penyiksaan fisik oleh Tuannya ketika
Nyonya pergi. Di balik kehidupan mereka yang menderita, mereka adalah ibu dan
anak yang saling menyayangi. Kedasih sering bercerita tentang burung-burung
yang hidup bebas untuk menghibur Mimin yang hidup terkurung jauh dari kehidupan
luar.
Studi sastra bersifat
semiotik adalah usaha untuk menganalisis sastra sebagai suatu sistem
tanda-tanda dan menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra
mempunyai arti (Pradopo, 2013: 142).
Lebih jauh, Pradopo (2013: 120) menjelaskan ada tiga jenis tanda berdasarkan
hubungan antara penanda dan pertandanya, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon
adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah antara
penanda dan petandanya. Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausa/
(sebab-akibat) antara penanda dan petandanya. Sedangkan simbol adalah tanda
yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dan
petandanya, hubungannya bersifat arbitrer (semau-maunya).
Untuk dapat memahami
ketiga tanda semiotik tersebut, harus dilakukan pembacaan secara heuristik dan
hermeneutik. Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur
bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik
tingkat pertama. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan karya sastra
berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya.
Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang (retroaktif) sesudah pembacaan
heuristik dengan memberi konvensi sastranya (Pradopo, 2013: 142).
“Lewat jendela itulah, Mimin
melihat, betapa di luar sana, anak-anak sebayanya asyik bermain. Sementara ia
harus bekerja membanting tulang, bersama emaknya. Ia hanya bisa melihat dari
balik jendela dengan tatapan mata berbinar.”
Kata
jendela dalam kutipan di atas adalah ikon yang dapat ditemukan dalam cerpen
Cerita Kedasih. Secara heuristik jendela mempunyai makna lubang yang dapat
diberi tutup dan berfungsi sebagai tempat keluar masuk udara. Secara
hermeneutik jendela mempunyai makna bahwa ia ingin keluar dari ruangan yang
selama ini mengurungnya. Ia ingin bermain seperti anak-anak sebayanya. Ia ingin
memiliki kehidupan yang menyenangkan, bukan bekerja keras membanting tulang
seperti yang selama ini ia rasakan.
“Kedasih sering menjauhkan mainan
milik anak Tuannya dari jangkauan Mimin. Kedasih memilih menghibur anaknya
dengan dongeng. Kedasih sering bercerita tentang burung. Burung yang hidup
bebas di alam raya.”
“Di luar sana burung kedasih
berkicau berkali-kali. Hiii-tii-ti-ti, tir-ri-ri-ri, hiii-tii-ti-ti,
tir-ri-ri-ri-ri. Suara burung itu seperti berkecamuk dalam hati Kedasih hingga
larut malam. Kedasih memandang anaknya yang tak berdosa itu dengan penuh kasih
sayang.”
“Macan itu sudah aku habisi. Demi
anakku.” Batin kedasih. Dadanya berdegup kencang”
Kutipan
di atas mengandung indeks yang dapat dipakai untuk memahami perwatakan tokoh. Secara
heuristik Kedasih adalah seorang ibu yang suka mendongeng. Secara hermeneutik
Kedasih suka bercerita/mendongeng karena ingin anaknya terhibur dengan
cerita-ceritanya. Ia tidak bisa memberikan hiburan yang lain karena kondisinya
yang terkurung dan tersiksa di rumah Tuannya. Kedasih amat menyayangi anaknya
itu walaupun tidak diungkapkan secara tersurat. Bahkan, ia berani menghabisi
nyawa Tuannya demi anaknya agar bisa terbebas dari penderitaan di rumah
Tuannya.
“Di matanya terbayang, bagaimana ia
menyelamatkan anaknya itu dari laki-laki pemabuk yang telah mebuatnya terpuruk.
Laki-laki yang pernah memaksanya mencintai. Laki-laki yang memaksa membuahi
spermanya. Dan kemudian laki-laki itu pergi, karena orangtuanya tak merestui.
Kedasih pun juga memilih minggat untuk menyelamatkan anaknya. Dan membuang sial
bagi keluarganya.
Tetapi apa daya, lepas dari buaya
darat, terperangkap di kandang macan. Di kandang macan ini ia menjadi santapan
Tuannya, bila Nyonya pergi, hampir saban malam.”
Kutipan
di atas mengandung simbol. Secara heuristik kata buaya darat bermakna binatang
melata berdarah dingin, bertubuh besar, berkulit keras yang hidup di darat.
Secara hermeneutik buaya darat adalah laki-laki yang menggemari banyak
perempuan. Kandang macan secara heuristik bermakna bangunan tempat tinggal macan/harimau.
Secara hermeneutik kandang macan bermakna tempat yang berbahaya. Lebih jauh,
kutipan di atas dapat dimaknai
penderitaan bertubi-tubi yang dialami tokoh Kedasih. Setelah ia pergi dari
laki-laki pemabuk yang tak dicintainya, ia justru terperangkap di rumah Tuan
yang berperangai buruk yaitu suka menyiksa dan melakukan pelecehan seksual
kepada dirinya.
Dalam
cerpen Cerita Kedasih, ikon, indeks, dan simbol hadir bersama dan sulit untuk
dipisahkan. Ketiganya memiliki peran yang sangat penting untuk menggambarkan
dan memperjelas cerita. Ikon mempunyai kekuatan ‘perayu’. Indeks dipakai untuk
memahami perwatakan tokoh. Sedangkan simbol berfungsi untuk penalaran,
pemikiran, dan pemerasaan. Adanya ikon, indeks, dan simbol membuat pembaca
lebih menikmati isi dari cerpen Cerita Kedasih ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. 2016. Kamus
Besar bahasa Indonesia Edisi V [Aplikasi]. (18 Mei 2018)
Diana,
Ani. 2016. Kajian Semiotik pada Kumpulan
Cerpen Sekuntum Mawar di Depan Pintu Karya M. Arman A.Z. Jurnal Pesona
Volume 2 No. 1. http://ejournal.stkipmpringsewu-lpg.ac.id/index.php/pesona.
(16 Mei 2018)
Giryadi,
R. 2016. Cerita Kedasih.
Pradopo,
Rachmat Djoko. 2013. Beberapa Teori
Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar